Mendengar kabar teman2 yang baru dan akan menikah, membuatku teringat lagi momen 3,5 tahun yang lalu. Saat status berubah, dari single menjadi married, saat ketaatan utama setelah kepada Allah berubah, dari orang tua kepada suami.
27 Mei 2007, tepatnya prosesi itu dilakukan. Prosesi 'serah terima', dari bapak ke 'aa, panggilanku untuk sosok baru itu. Serah terima tanggung jawab, juga serah terima hak ketaatan. Sosok itu adalah suamiku, Chaerul Anwar. Pria hitam manis, yang berasal dari keluarga yang kental kultur betawinya. Betawi tanah abang, atau betawi pusat, kata ummi, panggilan untuk ibu mertuaku. Beliau terus terang tidak ingin disamakan dengan betawi yang biasa di lenong2 atau lawak di tivi. Kasar, katanya. Itu mah ciri khas betawi pinggir, kalau di jakarta pusat kental melayunya, jelas beliau.
Menjadi orang yang baru menikah, banyak proses adaptasi yang dilakukan. Yang bisanya sehari2 ga betah di rumah, jadi harus bisa mengurus rumah. Yang bisa makan apa aja jadi, maklum mantan anak kos, jadi harus perhatian juga sama selera suami. Yang biasa sibuk sendiri, jadi membiasakan meluangkan waktu bersama orang-orang di rumah. Jadi introspeksi juga, sepertinya mamah dan bapak di pasar minggu kurang perhatianku dulu.
Kultur Betawi sangat menjunjung tinggi silaturahmi. Semenjak menikah, saya juga jadi senang, bahkan hobby berkunjung ke saudara2 dekat. Kayaknya senang lihat uwa' atau bibi yang sumringah saat dadatengin. Biasanya menjelang bulan puasa atau setelah lebaran. Saya yang terus terang tadinya cuek dan malas kumpul2 di acara keluarga, jadi sangat menikmati ibadah yang satu ini: Silaturahmi.
Menikah, ibarat menaiki sebuah bahtera, dengan suami sebagai nahkodanya. Istri mensupport, sebagai navigator, koki, sekaligus kelasi hehe.. asal bukan jadi jangkar yang dicemplungin ke laut :p
Ke mana bahtera ini mau mengarah, itu terserah pada nahkoda dan penumpangnya. Mau diarahin ke timur bisa, ke barat juga bisa. Suami istri harus sevisi, agar tidak konflik kepanjangan dan bahtera tidak maju-maju, bahkan terombang-ambing oleh ombak. Saling mempercayai antara nahkoda dan co-nahkoda (istilahnya asal..:p) sangat panting. Karena sangat tidak nyaman perjalanan ini bila keduanya saling curiga. Penghargaan terhadap rekan seperjalanan juga harus diberikan. Suami yang menjadi pemimpin keluarga, tetaplah ditempatkan sebagai pemimpin. Istri sebagai pendamping, juga memerlukan pengakuan, bahwa sang nahkoda membutuhkannya.
3,5 tahun.. waktu yang masih muda dalam perjalanan ini. Masih banyak yang harus dipelajari dan diperbaiki. Semua upaya untuk membentuk keluarga yang sakinah, insya Allah dihitung sebagai kebaikan di sisi Allah. Pengalaman orang2 yang lebih dulu menjalaninya, juga sangat baik untuk diperhatikan. Letupan-letupan kecil itu biasa, sama seperti ombak yang kadang kala tinggi menggoyang dan mempermainkan bahtera. Menahan diri, lapang dada, dan hushuzhon menjadi keharusan. Ketaatan kepada Allah menjadi yang utama. Pengakuan yang tulus, bahwa hidup ini ada dalam kendali dan pengawasan Allah swt. menjadi pegangan yang kuat saat ombak itu menerpa.
Satu hal yang menjadi cita-cita bersama, adalah agar hidup dalam keridhoan Allah swt. Tak ada keinginan yang lebih besar selain bisa masuk ke surgaNya, dan tak ada ketakutan yang lebih besar melebihi ketakutan terhadap azabNya. Semoga sampai akhirnya, bahtera ini dapat berlabuh di pantai idamannya. Pantai yang penuh barokahNya dan syafaat dari RasulNya. Ya Allah.. mudahkanlah, amin.
27 Agustus 2010
Bahtera
Author: Unknown
|
Filed Under:
my family
|
on
Jumat, Agustus 27, 2010
|
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar