27 Maret 2012

Pengaduan Terakhir ‘Singo Edan’


Tak sedikit pun lelaki berusia 53 tahun itu terlihat letih. Padahal, ia baru sehari tiba di Jakarta setelah jalan kaki 17 hari dari Malang, Jawa Timur. Laki-laki kuat itu adalah Indra Azwan. Kedua kaki Indra bengkak setelah jalan kaki ratusan kilometer. Telapak kakinya menghitam. Di sela-sela jari kakinya tertempel kapas yang direkatkan dengan plester. Namun, meski luka-luka, ia pantang mengeluh.

“Orang menganggap aksi ini gila. Tapi bagi saya lumrah. Inilah jeritan orang kecil, karena penegakan hukum yang saya minta tidak pernah didengar,” kata Indra saat ditemui majalah detik di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Senin 17 Maret 2012, malam.

Saat berucap seperti itu, wajah bapak dua anak itu menunjukkan amarah. Ia terlihat menyimpan kekecewaan yang dalam atas penegakan hukum yang dilakukan aparat negara, terutama polisi. Namun, Indra juga tak dapat menyembunyikan perasaan sedih ketika terkenang kematian putranya kurang lebih 19 tahun lalu.

9 Februari 1993, Rifka Andika, yang saat itu masih duduk di kelas 6 SD pulang dari sekolah. Saat menyeberang di Jl. S Parman kota Malang sekitar pukul 18.20 WIB, bocah itu ditabrak mobil. Si penabrak ternyata personel Polwil Malang, Joko Sumantri. Saat itu, Joko masih berpangkat Lettu Polisi.

Hingga kini, proses hukum atas kasus itu tak jelas juntrungannya. Sebelumnya, penyelesaian kasus itu berjalan sangat lambat. Berkas terdakwa, yang kini telah berkali-kali pindah tugas dan naik pangkat, baru dilimpahkan ke oditur militer pada 2004, dan ke pengadilan pada 2006. Itu pun pada 2008 hakim menyatakan Joko tak dapat dipidana karena kasusnya telah kedaluwarsa.

 Selama bertahun-tahun pula, Indra memperjuangkan keadilan. Sejak anaknya meninggal, ia berulang kali menyambangi oditur militer III di Surabaya untuk menanyakan perkembangan kasus itu. Pada 1999, Indra juga menyurati Kapolda Jatim saat itu, Firman Gani, untuk mengusut anak buahnya.

Aksi jalan kaki Malang-Jakarta sudah dua kali dilakoni Indra. Pada Agustus 2010, Indra ke Jakarta dengan cara yang sama. Pada saat itu, bersama salah seorang putrinya, Indra berhasil menemui Presiden SBY.

Di hadapan SBY yang didampingi Menkum HAM Patrialis Akbar, Seskab Dipo Alam, Mensesneg Sudi Silalahi, dan staf khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, Indra berkeluh kesah. Menurut Indra, di akhir pertemuan, SBY janji membantu menyelesaikan kasusnya. Ia juga diberi uang santunan Rp 25 juta.

Namun, hingga kini janji itu belum ditepati. Maka, kedatangan Indra ke Jakarta dengan jalan kaki untuk kedua kalinya ini untuk menagih janji SBY. Ia juga akan mengembalikan Rp 25 juta itu kepada Presiden SBY.

Selasa 21 Maret 2011, Indra dan pengacaranya, Agus datang ke Istana Negara. Mereka tak dapat menemui SBY karena ia sedang menerima Sekjen PBB di Bogor. Alhasil, Rp 25 juta itu akhirnya diserahkan melalui Denny, yang kini menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM.

Sementara Indra bersiap-siap untuk rencana yang lebih ‘gila’ lagi. Ia akan jalan kaki ke Arab Saudi. Ia telah mengantongi paspor dari kantor Imigrasi Malang. Ia ke Mekkah karena merasa tidak ada lagi tempat untuk mengadu selain kepada Tuhan.

“Sekarang saya mengadu ke monyet-monyet nggak digubris, ke manusia pada budek, ke mana lagi saya harus mengadu? Pengaduan saya terakhir ya di Mekkah,” katanya.

sumber: majalah detik, maret 2012

0 komentar:

Posting Komentar

 

blognya nia kaniawati Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino